Full width home advertisement

Guru

SDM Unggul

Post Page Advertisement [Top]


PENASINERGI - "Mahasiswa sekarang cueknya minta ampun. Jangankan soal kesantunan, keseriusan untuk belajar saja sangat kurang", curhat Ibu Ati, dosen salah satu perguruan tinggi negeri di kota Medan.

"Eeh, itu belum seberapa. Pas aku ngajar di kelas, mahasiswaku malah asyik dengan gadgetnya. Bahkan sesekali mahasiswaku malah memotretku diam-diam.

Emang sih aku rada narsis, tapi enggak gitu kali pun caranya. Bukannya dengerin dosen yang lagi ngajar, mereka malah keasyikan hingga meng-upload fotoku tadi dengan caption dibawahnya: 'Tumben neh ibu Santi ngajarnya serius hehehe'.

Tapi sudahlah, dimarahin juga gak ada gunanya. Gak bakalan ada perubahan. Bete...bete...bete abis deh," sambar Ibu Santi, tetangganya yang juga dosen di salah satu PTS yang berbeda dengan Ibu Ati

Banyak dosen, terutama para dosen senior bingung melihat tingkah mahasiswa-mahasiswi jaman ini. Biasanya, saat mengeluh mereka tak lupa melampirkan pengalaman masa lalu mereka, ya jaman mereka masih mahasiswa-mahasiswi jaman baheula.

Dengarlah keluhan Pak Surle Silitonga, seorang dosen yang selalu tampil sederhana kendati sudah 30 tahun mengajar di salah satu PTN paling beken di kota dengan banyak jalan raya berkubang ini.

"Setiap kali mengajar di kelas, aku selalu berhadapan dengan mahasiswa yang hening saat ditanya, dan menggaruk kepalanya saat disuruh bertanya. Tugas-tugas yang kuberikan memang selalu mereka kerjakan, tetapi mereka langsung meminta bantuan oppung Google untuk mengerjakan. Oh my God. Akhirnya, aku pun jadi malas memeriksa salah tugas mahasiswa-mahasiswiku. Bagaimana tidak, jawaban mereka hampir selalu sama, yakni buah pemikiran oppung Google," tuturnya kepada Ibu Ati dan Ibu Santi.

Mahasiswa Kita Sedang Krisis "Antusiasme"?

Tentu tak semua mahasiswa-mahasiswi seperti itu. Masih ada kok satu-dua mahasiswa/mahasiswi yang sungguh menjalankan tugasnya dengan baik. Mereka ini biasanya mahasiswa-mahasiswi yang berprestasi di kampus. Hebatnya lagi, prestasi itu justru mereka dapatkan berkat antusiasme mereka belajar di kelas dan keseriusan mereka mengerjakan tugas-tugas kuliahnya.

Tapi sayang sungguh seribu sayang. Ketika informasi serba telanjang, banyak mahasiswa-mahasiswi justru lebih doyan mengoleksi ketelanjangan data, gambar dan berbagai bentuk informasi dari internet, tanpa tahu apakah informasi itu valid/ilmiah atau malah sekedar hoax.

Nyatanya, banyak dari mereka justru tak pernah menyempatkan diri mengolah, menganalisa, hingga melengkapi informasi yang dicurinya dari internet tadi. Tentu mereka tak punya buku yang dibaca sebagai pembanding.

Berlaksa-laksa informasi di internet seakan-akan menggoda mahasiswa-mahasiswi (bahkan tak sedikit juga para dosen melakukan hal yang sama) agar mereka malas berpikir. Hasilnya, mereka cenderung membiarkan orang lain berpikir dan mengunggah isi pikiran mereka ke internet (si pemilik postingan tertentu).

Tak heran, ketika sedang menjalani perkuliahan, mahasiswa-mahasiswi itu begitu remeh dengan mata kuliah yang diajarkan dosennya. Seakan-akan sudah cukup bagi mereka untuk tahu "judul atau topik yang sedang diajarkan", karena mereka punya oppung Google yang siap menjabarkan.

Lagipula, di penghujung masa kuliah, tepatnya setelah seluruh SKS sudah dituntaskan, entah mereka itu mahasiswa-mahasiswi yang rajin atau mahasiswa-mahasiswi yang malas, entah mahasiswa-mahasiswi yang belajar tekun atau mahasiswa-mahasiswi yang kerjanya hanya asbun (asal bunyi, asal njeplak) tetap saja lulus dan diwisuda di waktu yang sama.

Apalagi, seperti dikatakan oleh orang-orang anti-idealisme, "Tak ada jaminan bahwa mahasiswa-mahasiswi yang cerdas tadi akan lebih hebat hidupnya dari mahasiswa yang selalu memainkan gadget saat mengikuti kuliah di kelas."

Apakah ini lantas berarti bahwa sistem pendidikan kita sedang krisis daya kritisnya?

Para kaum terdidik dan para pendidik yang terlibat dalam upaya "mencerdaskan kehidupan bangsa" itu ternyata hanya bisa "maklum" ketika tahu dan melihat dengan mata kepala sendiri mahasiswa-mahasiswi yang (1) terpaksa membeli buku karena memang tak pernah dibaca, (2) mengumpulkan tugas-tugas kuliah berupa "hasil mencuri dari Google", (3) duduk di kelas tapi tak mau sungguh mendengarkan, bahkan mereka hanya tersenyum kecut saja saat mahasiswa-mahasiswinya itu akhirnya mengenakan toga dan mendapatkan ijazah sarjana.

Bagaimana tidak, sebab nilai yang termaktub di ijazahnya itu sesungguhnya bukanlah hasil jerih payah para mahasiswa itu sendiri.


Penulis: Lusius Sinurat

Tidak ada komentar:

Bottom Ad [Post Page]

| Designed by Colorlib