Full width home advertisement

Guru

SDM Unggul

Post Page Advertisement [Top]

Quo Vadis Para Sarjana?
Entah berapa puluh, bahkan ratusan ribu lulusan Perguruan Tinggi (PT) lulus setiap tahunnya. Tak hanya lulusan S1, tapi juga S2, bahkan lulusan S3 mentas setiap tahun.

Mayoritas lulusan PT itu ternyata tak serta merta mendapatkan pekerjaan setelah lulus. Entah karena ia bukan anak pengusaha atau penguasa, tidak lulus test masuk CPNS, tak beruntung saat test masuk kerja di perusahaan baik karena hambatan nilai yang pas-pasan atau IPK yang nyaris tak cukup.

Masih banyak persoalan lain yang bisa kita urai di sini. Persoalannya cuma satu, "Ijazah pendidikan tinggi bukan jaminan mudah untuk mendapat pekerjaan."

Kenyataannya jumlah lulusan PT, entah PTN, entah PTS yang menjadi pengangguran terdidik meningkat tiap tahun. Sebagaimana dirilis KOMPAS baru-baru ini, Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2014 menyebutkan jumlah 688.660 orang (9,5%) dari total penganggur yang merupakan alumni perguruan tinggi.

Mayoritas dari 9,5% itu adalah lulusan universitas bergelar S-1 sebanyak 495.143 orang. Belum, sebagaimana telah disinggung di atas tentang terbatasnya lapangan kerja yang tersedia.

Persoalan ini bahkan akan semakin bertambah sebab mulai 1 Januari tahun ini para pemilik ijazah itu harus bersaing dengan tenaga kerja asing dari negara-negara ASEAN sebagai dampak berlakunya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Maka, banyaknya lulusan perguruan tinggi yang menganggur pasti akan semakin bertambah.

Lantas ada apa dengan pendidikan Indonesia? Mengapa perusahaan enggan menerima lulusan PT yang telah berjibagu di kampus elama 4 tahun, bahkan sampai 6 tahun?

Kenyataan ini memang membuat kita miris. Namun fakta bahwa ketimpangan antara profil lulusan universitas dengan kualifikasi tenaga kerja siap pakai yang dibutuhkan perusahaan hingga kini masih jadi persoalan. Kenyataan ini tentu saja akan membahayakan Bangsa kita secara global.

Kinilah saatnya Indonesia perlu mendesain ulang konsep pendidikan tinggi agar lulusannya mudah diserap industri. Kemendikbud dan Kemenristekdikti harus segera mengevaluasi ulang apakah masih perlu kuliah 4 tahun di perguruan tinggi atau cukup mengikuti kursus bersertifikat internasional 1 semester saja?

Mengapa banyaknya lulusan PT setiap tahun itu justru tidak mempermudah perusahaan mencari tenaga kerja baru? Mengapa pula angka permintaan perusahaan terhadap tenaga kerja selalu lebih rendah dari pada jumlah lulusannya? Pertanyaan ini menjadi sangat penting, mengingat betapa susah terserapnya lulusan PT Indonesia.

Dari berbagai riset dan evaluasi yang telah dilakukan berbagai lembaga pemerhati pendidik diperolah fakta bahwa lulusan PT Indonesia:
  1. tidak memiliki skill yang dibutuhkan perusahaan
  2. tidak punya kemampuan kritis (critical skill)
  3. tidak memiliki kemampuan menguasai dunia digital (digital skills)
  4. tidak memiliki kemampuan berpikir banyak skenario (agile thinking ability)
  5. memiliki keahlian berkomunikasi yang terbatas hingga mudah ciut dan menghindari adu pendapat (interpersonal and communication skills)
  6. tidak punya global skills, yang meliputi kemampuan bahasa asing, bisa padu dan menyatu dengan orang asing yang berbeda budaya, dan punya sensitivitas terhadap nilai budaya.
Lantas apa yang sesungguhnya yang diajarkan kepada mereka di kampus-kampus megah nan mahal itu? Kita yang pernah kuliah akan segera tahu bahwa aspek skill mahasiswa kurang diperhatikan. Semua proses melulu teori dan konsep. 

Para guru besar dan orang yang menyebut dirinya dosen (docere = yang mengajar) tampaknya tidak menyadari bahwa SKILL itu adalah gerbang utama memasuki dunia kerja. Tak dapat dipungkiri bahwa realitas ini adalah akibat kesalahan sistem pendidikan Indonesia selama 20 tahun lalu.

Di titik inilah semua pihak yang terkait dengan dunia pendidikan harus bersinergi. Hanya dengan cara inilah kualitas lulusan PT bisa sesuai dengan kebutuhan dunia industri. Sebaliknya, di kampus-kampus para mahasiswa hanya disuruh belajar untuk lulus jadi sarjana.

Universitas-universtia itu seakan-akan hanya mengejar status dan menjual ijazah, sebaliknya kampus tidak lagi menjadi wahana berproses menjadi sarjana. Hasilnya, lulusan PT itu tak punya pemahaman apa-apa terhadap proses pendidikan yang sudah dilalui. Oleh karena itu, baik oang tua, guru maupun dosen harus mengajarkan kepada generasi muda untuk tidak takut terhadap perubahan.

Kita semua hanya bisa berharap agar pemerintah dan PT bisa mengajak pihak swasta untuk menyusun kurikulum yang tepat bagi perguruan tinggi, agar sesuai dengan kebutuhan industri. (Lusius)

Bottom Ad [Post Page]

| Designed by Colorlib